Jumat, 19 Agustus 2016

SERTIPIKAT TANAH BAGI MASYARAKAT ‘TIDAK MAMPU’

Oleh:
RAHMAT RAMADHANI, SH., MH.
(Penulis adalah Dosen Hukum Agraria FH UMSU, Direktur LBH Bumi Bhakti)

Tujuan dilakukannya pendaftaran tanah sebagaimana dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah salah satunya adalah menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Dalam rangka pencapaian tujuan dimaksud, kemudian salah satu asas yang dianut dalam melaksanakan pendaftaran tanah adalah dengan menggunankan asas terjangkau yang memungkinkan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah dapat mendapatkan manfaat dari pendaftaran tanah dimaksud (vide; Pasal 2 PP 24/1997).

Pendaftaran tanah menghasilkan sebuah produk yang bernama sertipikat hak atas tanah yang berisikan informasi-informasi terkait subjek, objek dan status tanahnya sehingga pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan bahwa dirinya sebagai pemegang hak atas bidang tanah yang dihaki dan jenis hak atas tanah yang dikuasai. Oleh karennya, sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan rekaman data fisik dan data yuridis yang telah terdaftar dalam buku tanah.

Lebih lanjut, negara telah menunjuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga eksekutif penerima pelimpahan sebagian kewenangan negera untuk menjalankan tugas pendaftaran atas bidang tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu tugas terpenting yang diperintahkan oleh Udang-Undang Pokok Agaria/UUPA (UU 5/1960) adalah terlaksananya pendaftaran tanah di seluruh penjuru tanah air Indonesia.

Dalam rangka percepatan terlaksananya pendaftaran atas bidang-bidang tanah di seluruh penjuru tanah air terutama dalam konteks kegiatan pendaftaran tanah pertama kali terhadap tanah-tanah yang belum memiliki nomor hak/belum terdaftar, pemerintah telah melakukan berbagai manuver kebijakan yang terbalut dalam berbagai modifikasi program kegiatan pendaftaran tanah dan akrab dikenal dengan program pensertipikatan tanah murah bagi masyarakat diantaranya; Program Ajudikasi, Prona, Sertipikat Tanah Petani, UKM, Nelayan, Transmigrasi dan lain-lain.

Melihat getolnya upaya pemerintah dalam menetaskan berbagai rancangan program startegis pensertipikatan tanah dalam rangka progres percepatan pendaftaran bidang-bidang tanah dimaksud semestinya mampu menunjukkan grafik peningkatan angka bidang tanah yang telah terdaftar setiap tahunnya. Namun uniknya, sejauh ini pemerintah belum me-rilis upadate data yang valid terkait jumlah bidang tanah terdaftar dari target bidang tanah yang belum terdaftar di seluruh penjuru tanah air  sehingga barometer percepatan pendaftaran tanah dimaksud terkesan membias adanya. Logikanya dalam merancang sebuah program kegiatan percepatan pendaftaran tanah setidaknya harus terlebih dahulu diketahui jumlah bidang tanah belum terdaftar dan dapat dilekati hak atas bidang tanah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke sebagai targetnya, baru kemudian disusun langkah strategis termasuk biaya dan waktu yang diperlukan dalam pencapaian target dimaksud.

Persoalan lain-pun kemudian muncul sebagai hambatan terhadap upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pendaftaran tanah dimaksud yang salah satunya adalah ternyata program strategis pensertipikatan tanah murah bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah belum seluruhnya menyentuh elemen masyarakat bergolongan ekonomi lemah yang kerap disapa dengan golongan masyarakat  ‘tidak mampu’ di negeri ini. Terlebih dengan kondisi melemahnya ekonomi nasional akibat krisis global dewasa ini yang semakin melemahkan denyut nadi kaum masyarakat miskin di Indonesia.

Menjawab hambatan tersebut, pemerintah baru-baru ini telah mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 128 Tahun 2015 tentang  Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kemen-ATR/NPN), ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Desember 2015 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 351, Tambahan  Lembaran Negara Nomor 5804. Kehadiran PP dimaksud praktis memugar ratte card (tariff) layanan pada institusi BPN yang selama ini berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (BPN).

PP 128/2015 secara tegas dan lantang menjawab hambatan dalam pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah yang tengah dilakukan pemerintah, sekaligus menepis kegusaran masyarakat golongan ‘tidak mampu’ dalam memperoleh legalitas hak atas tanah yang dimilikinya selama ini. Pada Pasal 22 PP 128/2015 menyebutkan adanya pemberian insentif berupa Rp.0,- (nol rupiah) untuk layanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah serta kegiatan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A dan Pendaftaran Tanah Pertama Kali bagi golongan masyarakat tidak mampu. Artinya, melalui PP tersebut pemerintah memberikan layanan pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat hak atas tanah secara cuma-cuma/gratis bagi masyarakat yang bergolongan ekonomi tidak mampu.

Lebih jauh, Penjelasan Umum PP 128/2015 menyebutkan bahwa salah satu tujuan pemerintah memberikan insentif berupa Rp.0,- (nol rupiah) dalam hal pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat (kegiatanya antara lain; Pengukuran Batas Bidang Tanah, Pemeriksaan Tanah Panitia A dan Pendaftaran Tanah Pertama Kali) adalah untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan masyarakat pedesaan dari dampak melemahnya ekonomi nasional dengan meringankan beban masyarakat melalui penurunan tarif/biaya pengurusan hak atas tanah.

Pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat hak atas tanah tanpa biaya sebagaimana dimaksud, selain dianggap sebagai sebuah solusi konkrit dalam upaya mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh bagi golongan masyarakat ekonomi lemah selama ini yang belum didaftarkan oleh karena alasan ketiadaan biaya, juga dinilai memiliki dampak ekonomis bagi masyarakat tidak mampu untuk membantu permodalan usaha dalam konteks hak tanggungan. Dengan demikian, melalui program setipikat gratis ini diharapkan masyarakat tidak mampu dapat mandiri dan berdikari dengan tujuan adanya peningkatan taraf ekonomi keluarganya untuk masa yang akan datang.

Namun sayangnya, dalam PP 128/2015 tidak ditemukan batasan dan kriteria yang jelas terhadap golongan masyarakat tidak mampu dimaksud, sehingga dikhawatirkan PP tersebut akan menimbulkan legal gap untuk kemudian dapat disalah tafsirkan. Sebab jika tidak aturan yang jelas dan tegas terkait siapa-siapa yang termasuk golongan ekonomi lemah, maka bukan tidak mungkin efek dari pemberlakuan PP ini malah akan mendongkrak angka kemiskinan di Indonesia bahkan melampaui data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik terkait tingkat kemiskinan di Indonesia.

Soyogianya penerapan Pasal 22 PP 128/2015 tersebut didampingi dengan petunjuk teknis lebih lanjut dari Kemen-ATR/BPN yang meng-konkritkan berbagai hal terkait batasan, syarat dan kriteria terhadap siapa saja yang dimaksud dengan golongan masyarakat ekonomi tidak mampu, sehingga pemberian intensif yang diperintahkan oleh PP 128/2015 dapat lebih tepat sasaran. Pun demikian, dalam pelaksanaanya juga harus dibarengi dengan pengawasan melekat (WASKAT) pada level internal instutsi BPN terkait dengan penerapan pasal dimaksud, agar menutup celah terjadinya penyalahgunaaan wewenang yang mengatas-namakan masyarakat ekonomi lemah.

Terakhir sebagai kata penutup yang perlu diingat adalah bahwa tujuan diberikanya intensif bagi masyarakat tidak mampu untuk mengurus sertpikat hak atas tanahnya secara gratis sebagaimana diatur dalam PP 128/2015  dianggap telah sesuai dengan amanah Undang-Undang Pokok Agraria yang menghendaki terlaksananya percepatan pendaftaran tanah di Indonesia guna tercapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya mari hantarkan PP ini kepada tujuan yang dikendaki. Semoga saja, Aamiin!!!

Kamis, 18 Agustus 2016

LARANGAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH SENGKETA

Bahwa peralihan hak atas tanah secara sempurna dilakukan dengan akta yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 37 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menegaskan; Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Atas kewenangannya tersebut, PPAT harus melakukan penelitian atas data fisik dan data yuridis atas bidang tanah tersebut, salah satunya adalah PPAT berkewajiban meneliti apakah tanah tersebut bersih dari sengketa atau masih dalam sengketa, jika berstatus sebagai tanah sengketa maka PPAT berkewajiban menolak pembuatan akta peralihan hak atas tanah  tersebut, hal ini juga dinyatakan di dalam Pasal 39 ayat (1) Hurup f Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menegaskan; PPAT menolak untuk membuat akta, jika: obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya;

Hal ini harus menjadi perhatian bagi PPAT, jika akta pemindahan hak tetap dibuat oleh PPAT maka akta tersebut tidak syah secara hukum atau batal demi hukum. Pembatalan tersebut juga didasarkan kepada tidak dipenuhinya syarat-syarat perjanjian yang dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dimana syarat yang tidak terpenuhi adalah syarat "Sebab yang Halal". Makna dari "sebab yang halal" adalah bahwa perjanjian yang dibuat tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang hidup di tengah-tenah masyarakat.

Selasa, 16 Agustus 2016

PENGUASAAN TANAH SELAMA 20 TAHUN DILINDUNGI NEGARA

Penguasaan fisik atas tanah dan bangunan menjadi poin penting di dalam hukum pertanahan. Para pemegang hak atas tanah meskipun telah bersertifikat tidak boleh hanya mengandalkan sertifikatnya tanpa melakukan penguasaan fisik, atau membiarkan tanah tanpa sedikitpun melakukan kegiatan. Tanah yang kosong tentunya mengundang orang lain untuk menempati dan menduduki tanah tersebut meskipun tanpa didasari suatu bukti.

Problematika hukum pertanahan yang banyak terjadi salah satunya disebabkan oleh pemegang hak yang membiarkan tanahnya kosong, sedangkan orang yang menempati atau mendudukinya selama bertahun-tahun merasa memiliki hak. Jika pemegang hak asli akan kembali memanfaatkan tanahnya menghadapi hambatan yang serius dan tidak jarang kehilangan haknya. Memang kenyatannya Hukum pertanahan mewajibkan bagi pemegang hak untuk mengelola tanahnya sesuai dengan hak yang telah diperolehnya, konsekwensi bagi yang tidak mematuhi perintah hukum tersebut akan kehilangan haknya.

Bagi pihak yang dengan i'tikad baik dan secara jujur menguasai fisik tanah selama 20 (dua puluh) tahun berturut-turut, hukum akan melindunginya dan melegitimasinya sebagai pemilik hak atas tanah yang dikuasainya. Hal ini merujuk kepada ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menegaskan:
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat:
a.    penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b.    penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. 

Penjelasan Pasal 24 Ayat (2) tersebut:
Ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud ayat (1) baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahulunya. Pembukuan hak menurut ayat ini harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1)   bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut turut;
2)   bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;
3)   bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya;
4)   bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 26;
5)   bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;
6)   bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. 

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut bukan hanya memberikan solusi bagi para pemilik tanah yang tidak memiliki bukti, tetapi secara eksplisit mewajibkan kepada para pemegang hak atas tanah untuk secara nyata dan pasti melakukan penguasaan, pengelolaan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan hak yang diberikan oleh Negara.

Dalam praktek hukum, ternyata penguasaan fisik yang demikian itu diakui dilindungi oleh Negara yang direfrentasikan melalui beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, berikut ini:
  • Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 295 K/Sip/1973 Tanggal 9 Desember 1975 yang menguraikan; “…..mereka telah membiarkannya berlalu sampai tidak kurang dari 20 (dua puluh) tahun semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingga mereka dapat dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada atas sawah sengketa, sedangkan Tergugat Pembanding dapat dianggap telah memperoleh hak milik atas sawah sengketa
  • Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 329 K/Sip/1957 Tanggal 24 September 1958 menegaskan; “orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 (delapan belas) tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan hak atas tanah tersebut (rechtsverwerking)”
  • Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 783 K/Sip/1973 Tanggal 29 Januari 1976 menegaskan; “seandainya memang Penggugat Terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa Tergugat-tergugat sampai sekian lama (27 tahun) menunggu untuk menuntut pengembalian atas tanah tersebut menimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking)” “pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung Penggugat Terbanding yang telah menduduki tanah tersebut tuntuk waktu yang lama, tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur (rechtshebende te goeder trouw) harus dilindungi oleh hukum”      

Bahwa orang-orang yang tidak menguasai tanahnya selama kurun waktu tersebut di atas, hukum menganggap orang tersebut telah melepaskan atau meninggalkan haknya. Dan secara otomatis orang yang menguasai atau menduduki tanahnya sesuai dengan kwalifikasi tersebut di atas akan dilegitimasi dan melegalisasi sebagai pemilik tanah tersebut dan harus dilindungi oleh hukum.

KEJAHATAN TERHADAP TANAH DAN BANGUNAN


Beberapa ketentuan yang mengatur tentang kejahatan atau pelanggaran terhadap tanah dan bangunan: 
  1. Pasal 2 Jo. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 51 Tahun 1961 Tentang Larangan Memakai Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya Yang Sah. Pasal 2 berbunyi; "Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah" Kemudian Pasal 6 menegaskan; "Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000; (lima ribu Rupiah)"

Senin, 15 Agustus 2016

PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR SEBUAH RESOLUSI

Landasan Konstitusi Pertanahan 
Topik pertanahan erat kaitannya dengan landasan konstitusi yang ditegaskan di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sebagai grand norm, ketentuan ini harus disematkan sebagai imam bagi regulasi tentang pertanahan. Manifesto dari grand norm di atas terlihat jelas di dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal juga dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dimana Pasal 2 ayat (3) menegaskan “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur”
Perlu digarisbawahi ketentuan di atas bahwa legalisasi dan legitimasi kekuasaan negara atas pertanahan (bahagian dari bumi) tiada lain bertujuan untuk didayagunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, merdeka dan berdaulat di bidang pertanahan. Tentunya, tujuan tersebut sesuatu yang serius harus dicapai, bukan sekedar rangkaian kata-kata yang apik dan lugas tanpa ada realisasi in-konkrito. 
Eksekutornya untuk mewujudkan cita-cita konstitusi tersebut adalah Pemerintah yang dalam hal ini dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan wilayah tugas di bidang pertanahan yakni permukaan tanah tidak meliputi kandungan dan kekayaan alamnya, dimana diantara kewenangan dan tugasnya adalah pengawasan dan pengendalian penguasaan terhadap tanah, dan melakukan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pengawasan dan Pengendalian Pertanahan 
Mengapa tanah dijadikan salah satu sumber pencapaian kemakmuran rakyat, sebegitu pentingkah sehingga harus diatur di dalam konstitusi. Paradigmanya adalah karena tanah memiliki hubungan yang abadi dan salah satu sumber kehidupan manusia. Oleh karenanya, demi kemakmuran yang dicita-citakan perlu pijakan hukum yang kuat. Penomena saat ini, terjadi kesenjangan sosial dimana-mana yang disebabkan oleh konglomerasi, monopoli serta kapitalisasi penguasaan tanah. Kaum pemilik modal dan tuan-tuan tanah dengan mudah memiliki hak atas tanah tanpa terkendali dengan melampaui batas maksimum kepemilikan tanah yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan. 
Telah terjadi pembiaran atas hal itu. BPN tidak melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap penguasaan tanah, selama ini BPN terjebak pada rutinitas bersifat administratif dan birokratif yang cendrung monoton terfokus pada penerbitan sertifikat hak atas tanah, selain dan selebihnya nonsen. Sesungguhnya BPN memiliki tugas yang luas yakni pengawasan dan pengendalian penguasaan tanah, sekaligus berwenang melakukan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum, namun tidak dijalankan secara baik. Tugas pengawasan dan pengendalian penguasaan tanah tersebut sangat strategis agar penguasaan tanah tertata secara proporsional dan tidak berlebih-lebihan. Sebab peraturan perundang-undangan mengharuskan pemegang hak tanah untuk mengusahai, menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan pemberian. 
Kepemilikan hak atas tanah secara berlebihan berpotensi terjadinya penelantaran tanah, dimana penelantaran tanah membuat tanah tidak dapat dipergunakan dan dikelolah, potensi yang melekat dengan tanah tersebut hilang dengan sia-sia sementara masih banyak rakyat lain membutuhkan lahan pertanian atau perumahan. Implikasi penelantaran tanah dapat menghambat laju pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya bagi petani. Serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial (Bernhard Limbong 2014:330). Disamping itu, mengakibatkan semakin lebarnya kesenjangan sosial, ekonomi dan kesjahteraan masyarakat serta menurunkan kualitas lingkungan. Oleh karenanya BPN harus menggunakan tugas dan kewenangannya untuk melakukan pengawasan dan pengendalian penguasaan terhadap tanah. 

Penertiban Tanah Terlantar 
Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar diharapkan menjadi resolusi dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di bidang pertanahan. Pemerintah telah menyusun aturannya yang sebelumnya tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 1998, kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. PP Nomor 11 tahun 2010 tidak mendefenisikan secara tegas arti Tanah Terlantar tetapi memberikan batasan Tanah Terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. 
Defenisi atau batasan diatas lebih konkrit jika dibandingkan dengan PP Nomor 36 tahun 1998. Parameter tentang Tanah Terlantar adalah “hak tanah yang diterlantarkan” atau tanah yang tidak dimanfaatkan oleh pemegang haknya selama 3 (tiga) tahun secara berturut-turut sesuai dengan tujuan hak atas tanah dan jenis fisik tanahnya. Akibat hukum dari penelantaran tanah adalah pencabutan hak atas tanah dan status tanah menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 
Proses penetapan tanah terlantar cukup panjang, berawal dari tindakan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menyiapkan data awal tanah yang terindikasi sebagai tanah terlantar, kemudian data awal tersebut dijadikan dasar untuk melakukan indentifikasi dan penelitian secara fisik dan yuridis. Dalam melakukan identifikasi dan penelitian, Kepala Kantor Wilayah membentuk panitia penertiban tanah terlantar yang terdiri dari unsur BPN dan instansi lain, panitia yang dibentuk diatur oleh Kepala Wilayah. Identifikasi dan penelitian tanah terlantar secara umum meliputi identitas pemegang hak, data-data fisik tanah dan keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar. Dalam hal ini Panitia secara konkrit mengambil tindakan yang meliputi: 
  1. melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis; 
  2. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak; 
  3. meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan; 
  4. melaksanakan pemeriksaan fisik; 
  5. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan; 
  6. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar; 
  7. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian; 
  8. melaksanakan sidang Panitia; dan 
  9. membuat Berita Acara. Hasil dari kegiatan tersebut oleh Panitia dilaporkan kepada Kepala Wilayah. 

Jika hasil indentifikasi dan penelitian tersebut terdapat tanah terlantar maka Kepala Wilayah memberikan peringatan tertulis kepada pemegang hak sebanyak tiga kali dengan interpal waktu 1 (satu) bulan antara peringatan pertama, kedua dan ketiga. Apabila objek tanah dibebani dengan hak tanggungan maka surat peringatan juga diberitahukan kepada pemegang hak tanggungan. Jika pemegang hak tetap tidak mengindahkan atau tetap tidak melaksanakan surat peringatan sampai dengan peringatan ketiga maka Kepala Wilayah berwenang mengusulkan kepada Kepala BPN Pusat agar tanah yang terindikasi sebagai tanah terlantar ditetapkan sebagai tanah terlantar, untuk selanjutnya Kepala BPN menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar. 

Hapus Hak Karena Tanah Terlantar 
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur bahwa salah satu sebab hapusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) dikarenakan tanah ditelantarkan oleh pemegang hak (berstatus sebagai tanah terlantar) sesuai dengan Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40. 
Merujuk kepada ketentuan tersebut di atas, PP Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar memberikan penjabaran dan penegasan di dalam Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11. Pasal 9 ayat (2) berbunyi: “Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”
Ketentuan Pasal 9 ayat (2) di atas sebagai penjelasan bahwa akibat hukum dari penetapan tanah terlantar adalah penetapan penghapusan hak atas tanah dan pemutusan hubungan hukum antara objek tanah dengan pemegang hak serta penegasan tanah tersebut sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (tanah negara). 
Akibat hukum tersebut berlaku pada tanah-tanah yang telah melekat diatasnya Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan tanah yang telah diberikan dasar penguasaan berbentuk ijin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang. Untuk menjaga objektivitas penetapan tanah terlantar maka dilihat juga apakah seluruh luas tanah diterlantarkan, jika hanya sebahagian luas tanah yang diterlantarkan maka penetapan sebagai tanah terlantar hanya sebahagian, namun jika keseluruhan maka seluruh luas tanah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Untuk memperoleh hak atas tanah atas bagian tanah, bekas Pemegang Hak dapat mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pendayagunaan Tanah Terlantar 
Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana telah ditegaskan di atas menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah negara) dan memiliki akibat hukum hapusnya hak atau terputusnya hubungan hukum antara objek tanah dengan pemegang haknya. Bahwa tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat, negara melalui reforma agraria atau menjadi tanah cadangan negara yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk fasilitas umum atau kantor pemerintahan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 15 Ayat (1) PP Nomor 11 tahun 2010 menegaskan “Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya”
Disamping penertiban, BPN juga memiliki peran central dalam pendayagunaan tanah-tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar. BPN melalui pertimbangan yang komprehensif dari segi faktual dan yuridis dapat menetapkan tanah tersebut untuk kepentingan masyarakat, dalam hal ini dapat diredistribusikan kepada masyarakat yang belum memilki lahan sebagai sumber kehidupan, tentunya melalui mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Kesimpulan 
Banyak terjadi monopoli, kapitalisasi dan konglomerasi dalam bidang pertanahan, sehingga rakyat Indonesia yang sesungguhnya menjadi owner termarginalkan. Tuan tanah dengan tanahnya yang luas tidak dapat lagi memanfaatkan dan mengusahakan tanahnya dan menjadi lahan kosong, namun BPN sebagai lembaga yang berwenang melakukan pembiaran atas hal itu. Sementara banyak rakyat Indonesia yang sulit untuk sekedar memiliki sepetak tanah sebagai tempat tinggal yang layak. Penertiban dan pendayagunaan terhadap tanah terlantar hendaknya dapat menjadi sedikit solusi mengatasi kesenjangan yang ada. 
Terhadap tanah terlantar yang telah ditetapkan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara dapat diredistribusikan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang priority, apakah sebagai tempat tinggal atau sebagai lahan pertanian atau dibangun fasilitas umun dan fasilitas pemerintah. Dalam hal ini, BPN diharapkan tidak menjadi “mobil mogok”, harus lebih agresif dan proaktif dalam menjalankan tugasnya di bidang pengawasan dan pengendalian penguasaan tanah, dan melakukan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini demi terciptanya cita-cita konstitusi yakni bumi, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.