Oleh:
RAHMAT RAMADHANI,
SH., MH.
(Penulis adalah Dosen Hukum Agraria
FH UMSU, Direktur LBH
Bumi Bhakti)
Tujuan
dilakukannya pendaftaran tanah sebagaimana dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah salah satunya adalah menjamin
kepastian hukum hak atas tanah. Dalam rangka pencapaian tujuan dimaksud, kemudian
salah satu asas yang dianut dalam melaksanakan pendaftaran tanah adalah dengan
menggunankan asas terjangkau yang
memungkinkan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan
memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah dapat mendapatkan
manfaat dari pendaftaran tanah dimaksud (vide; Pasal 2 PP 24/1997).
Pendaftaran tanah menghasilkan sebuah produk yang bernama sertipikat
hak atas tanah yang berisikan informasi-informasi terkait subjek, objek dan
status tanahnya sehingga pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan bahwa dirinya
sebagai pemegang hak atas bidang tanah yang dihaki dan jenis hak atas tanah
yang dikuasai. Oleh karennya, sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang
hak yang bersangkutan sesuai dengan rekaman data fisik dan data yuridis yang
telah terdaftar dalam buku tanah.
Lebih lanjut,
negara telah menunjuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga eksekutif
penerima pelimpahan sebagian kewenangan negera untuk menjalankan tugas pendaftaran
atas bidang tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu tugas terpenting yang diperintahkan oleh Udang-Undang Pokok Agaria/UUPA
(UU 5/1960) adalah terlaksananya pendaftaran tanah di seluruh penjuru tanah air
Indonesia.
Dalam
rangka percepatan terlaksananya pendaftaran atas bidang-bidang tanah di seluruh
penjuru tanah air terutama dalam konteks kegiatan pendaftaran tanah pertama
kali terhadap tanah-tanah yang belum memiliki nomor hak/belum terdaftar, pemerintah
telah melakukan berbagai manuver kebijakan yang terbalut dalam berbagai
modifikasi program kegiatan pendaftaran tanah dan akrab dikenal dengan program
pensertipikatan tanah murah bagi masyarakat diantaranya; Program Ajudikasi,
Prona, Sertipikat Tanah Petani, UKM, Nelayan, Transmigrasi dan lain-lain.
Melihat
getolnya upaya pemerintah dalam menetaskan berbagai rancangan program startegis
pensertipikatan tanah dalam rangka progres
percepatan pendaftaran bidang-bidang tanah dimaksud semestinya mampu menunjukkan
grafik peningkatan angka bidang tanah yang telah terdaftar setiap tahunnya. Namun
uniknya, sejauh ini pemerintah belum me-rilis
upadate data yang valid terkait
jumlah bidang tanah terdaftar dari target bidang tanah yang belum terdaftar di
seluruh penjuru tanah air sehingga barometer
percepatan pendaftaran tanah dimaksud terkesan membias adanya. Logikanya dalam
merancang sebuah program kegiatan percepatan pendaftaran tanah setidaknya harus
terlebih dahulu diketahui jumlah bidang tanah belum terdaftar dan dapat
dilekati hak atas bidang tanah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke sebagai
targetnya, baru kemudian disusun langkah strategis termasuk biaya dan waktu
yang diperlukan dalam pencapaian target dimaksud.
Persoalan
lain-pun kemudian muncul sebagai hambatan terhadap upaya pemerintah dalam
melakukan percepatan pendaftaran tanah dimaksud yang salah satunya adalah ternyata
program strategis pensertipikatan tanah murah bagi masyarakat golongan ekonomi
menengah ke bawah belum seluruhnya menyentuh elemen masyarakat bergolongan
ekonomi lemah yang kerap disapa dengan golongan masyarakat ‘tidak mampu’ di negeri ini. Terlebih dengan
kondisi melemahnya ekonomi nasional akibat krisis global dewasa ini yang
semakin melemahkan denyut nadi kaum masyarakat miskin di Indonesia.
Menjawab
hambatan tersebut, pemerintah baru-baru ini telah mengundangkan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 128 Tahun 2015 tentang
Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang
Berlaku Pada Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kemen-ATR/NPN),
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Desember 2015 dan
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5804. Kehadiran PP dimaksud praktis memugar ratte card (tariff) layanan pada
institusi BPN yang selama ini berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
PP 128/2015 secara tegas dan lantang menjawab hambatan dalam
pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah yang tengah dilakukan pemerintah, sekaligus
menepis kegusaran masyarakat golongan ‘tidak mampu’ dalam memperoleh legalitas
hak atas tanah yang dimilikinya selama ini. Pada Pasal 22 PP 128/2015 menyebutkan adanya pemberian insentif berupa Rp.0,- (nol rupiah) untuk layanan Pengukuran
dan Pemetaan Batas Bidang
Tanah serta kegiatan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A dan Pendaftaran Tanah
Pertama Kali bagi golongan masyarakat tidak mampu. Artinya, melalui PP tersebut
pemerintah memberikan layanan pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan
sertipikat hak atas tanah secara cuma-cuma/gratis bagi masyarakat yang
bergolongan ekonomi tidak mampu.
Lebih jauh, Penjelasan Umum PP 128/2015 menyebutkan bahwa
salah satu tujuan pemerintah memberikan insentif berupa Rp.0,- (nol rupiah) dalam
hal pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat (kegiatanya antara
lain; Pengukuran Batas Bidang Tanah, Pemeriksaan Tanah Panitia A dan Pendaftaran
Tanah Pertama Kali) adalah untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan
masyarakat pedesaan dari dampak melemahnya ekonomi nasional dengan meringankan
beban masyarakat melalui penurunan tarif/biaya pengurusan hak atas tanah.
Pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat hak
atas tanah tanpa biaya sebagaimana dimaksud, selain dianggap sebagai sebuah
solusi konkrit dalam upaya mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah yang
dimiliki atau dikuasai oleh bagi golongan masyarakat ekonomi lemah selama ini
yang belum didaftarkan oleh karena alasan ketiadaan biaya, juga dinilai memiliki
dampak ekonomis bagi masyarakat tidak mampu untuk membantu permodalan usaha
dalam konteks hak tanggungan. Dengan demikian, melalui program setipikat gratis
ini diharapkan masyarakat tidak mampu dapat mandiri dan berdikari dengan tujuan
adanya peningkatan taraf ekonomi keluarganya untuk masa yang akan datang.
Namun sayangnya, dalam PP 128/2015
tidak ditemukan batasan dan kriteria yang jelas terhadap golongan masyarakat
tidak mampu dimaksud, sehingga dikhawatirkan PP tersebut akan menimbulkan legal gap untuk kemudian dapat disalah
tafsirkan. Sebab jika tidak aturan yang jelas dan tegas terkait siapa-siapa yang termasuk
golongan ekonomi lemah, maka bukan tidak mungkin efek dari pemberlakuan PP ini
malah akan mendongkrak angka kemiskinan di Indonesia bahkan melampaui data yang
telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik terkait tingkat kemiskinan di
Indonesia.
Soyogianya penerapan Pasal 22 PP
128/2015 tersebut didampingi dengan petunjuk teknis lebih lanjut dari
Kemen-ATR/BPN yang meng-konkritkan berbagai hal terkait batasan, syarat dan
kriteria terhadap siapa saja yang dimaksud dengan golongan masyarakat ekonomi tidak
mampu, sehingga pemberian intensif yang diperintahkan oleh PP 128/2015 dapat lebih
tepat sasaran. Pun demikian, dalam pelaksanaanya juga harus dibarengi dengan
pengawasan melekat (WASKAT) pada level internal instutsi BPN terkait dengan
penerapan pasal dimaksud, agar menutup celah terjadinya penyalahgunaaan
wewenang yang mengatas-namakan masyarakat ekonomi lemah.
Terakhir sebagai kata penutup yang perlu diingat adalah
bahwa tujuan diberikanya intensif bagi masyarakat tidak mampu untuk mengurus
sertpikat hak atas tanahnya secara gratis sebagaimana diatur dalam PP 128/2015 dianggap telah sesuai dengan amanah Undang-Undang
Pokok Agraria yang menghendaki terlaksananya percepatan pendaftaran tanah di
Indonesia guna tercapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai
pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya mari hantarkan PP
ini kepada tujuan yang dikendaki. Semoga saja, Aamiin!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar