Jumat, 19 Agustus 2016

SERTIPIKAT TANAH BAGI MASYARAKAT ‘TIDAK MAMPU’

Oleh:
RAHMAT RAMADHANI, SH., MH.
(Penulis adalah Dosen Hukum Agraria FH UMSU, Direktur LBH Bumi Bhakti)

Tujuan dilakukannya pendaftaran tanah sebagaimana dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah salah satunya adalah menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Dalam rangka pencapaian tujuan dimaksud, kemudian salah satu asas yang dianut dalam melaksanakan pendaftaran tanah adalah dengan menggunankan asas terjangkau yang memungkinkan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah dapat mendapatkan manfaat dari pendaftaran tanah dimaksud (vide; Pasal 2 PP 24/1997).

Pendaftaran tanah menghasilkan sebuah produk yang bernama sertipikat hak atas tanah yang berisikan informasi-informasi terkait subjek, objek dan status tanahnya sehingga pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan bahwa dirinya sebagai pemegang hak atas bidang tanah yang dihaki dan jenis hak atas tanah yang dikuasai. Oleh karennya, sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan rekaman data fisik dan data yuridis yang telah terdaftar dalam buku tanah.

Lebih lanjut, negara telah menunjuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga eksekutif penerima pelimpahan sebagian kewenangan negera untuk menjalankan tugas pendaftaran atas bidang tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu tugas terpenting yang diperintahkan oleh Udang-Undang Pokok Agaria/UUPA (UU 5/1960) adalah terlaksananya pendaftaran tanah di seluruh penjuru tanah air Indonesia.

Dalam rangka percepatan terlaksananya pendaftaran atas bidang-bidang tanah di seluruh penjuru tanah air terutama dalam konteks kegiatan pendaftaran tanah pertama kali terhadap tanah-tanah yang belum memiliki nomor hak/belum terdaftar, pemerintah telah melakukan berbagai manuver kebijakan yang terbalut dalam berbagai modifikasi program kegiatan pendaftaran tanah dan akrab dikenal dengan program pensertipikatan tanah murah bagi masyarakat diantaranya; Program Ajudikasi, Prona, Sertipikat Tanah Petani, UKM, Nelayan, Transmigrasi dan lain-lain.

Melihat getolnya upaya pemerintah dalam menetaskan berbagai rancangan program startegis pensertipikatan tanah dalam rangka progres percepatan pendaftaran bidang-bidang tanah dimaksud semestinya mampu menunjukkan grafik peningkatan angka bidang tanah yang telah terdaftar setiap tahunnya. Namun uniknya, sejauh ini pemerintah belum me-rilis upadate data yang valid terkait jumlah bidang tanah terdaftar dari target bidang tanah yang belum terdaftar di seluruh penjuru tanah air  sehingga barometer percepatan pendaftaran tanah dimaksud terkesan membias adanya. Logikanya dalam merancang sebuah program kegiatan percepatan pendaftaran tanah setidaknya harus terlebih dahulu diketahui jumlah bidang tanah belum terdaftar dan dapat dilekati hak atas bidang tanah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke sebagai targetnya, baru kemudian disusun langkah strategis termasuk biaya dan waktu yang diperlukan dalam pencapaian target dimaksud.

Persoalan lain-pun kemudian muncul sebagai hambatan terhadap upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pendaftaran tanah dimaksud yang salah satunya adalah ternyata program strategis pensertipikatan tanah murah bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah belum seluruhnya menyentuh elemen masyarakat bergolongan ekonomi lemah yang kerap disapa dengan golongan masyarakat  ‘tidak mampu’ di negeri ini. Terlebih dengan kondisi melemahnya ekonomi nasional akibat krisis global dewasa ini yang semakin melemahkan denyut nadi kaum masyarakat miskin di Indonesia.

Menjawab hambatan tersebut, pemerintah baru-baru ini telah mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 128 Tahun 2015 tentang  Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kemen-ATR/NPN), ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Desember 2015 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 351, Tambahan  Lembaran Negara Nomor 5804. Kehadiran PP dimaksud praktis memugar ratte card (tariff) layanan pada institusi BPN yang selama ini berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (BPN).

PP 128/2015 secara tegas dan lantang menjawab hambatan dalam pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah yang tengah dilakukan pemerintah, sekaligus menepis kegusaran masyarakat golongan ‘tidak mampu’ dalam memperoleh legalitas hak atas tanah yang dimilikinya selama ini. Pada Pasal 22 PP 128/2015 menyebutkan adanya pemberian insentif berupa Rp.0,- (nol rupiah) untuk layanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah serta kegiatan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A dan Pendaftaran Tanah Pertama Kali bagi golongan masyarakat tidak mampu. Artinya, melalui PP tersebut pemerintah memberikan layanan pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat hak atas tanah secara cuma-cuma/gratis bagi masyarakat yang bergolongan ekonomi tidak mampu.

Lebih jauh, Penjelasan Umum PP 128/2015 menyebutkan bahwa salah satu tujuan pemerintah memberikan insentif berupa Rp.0,- (nol rupiah) dalam hal pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat (kegiatanya antara lain; Pengukuran Batas Bidang Tanah, Pemeriksaan Tanah Panitia A dan Pendaftaran Tanah Pertama Kali) adalah untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan masyarakat pedesaan dari dampak melemahnya ekonomi nasional dengan meringankan beban masyarakat melalui penurunan tarif/biaya pengurusan hak atas tanah.

Pendaftaran tanah pertama kali/penerbitan sertipikat hak atas tanah tanpa biaya sebagaimana dimaksud, selain dianggap sebagai sebuah solusi konkrit dalam upaya mendapatkan kepastian hukum hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh bagi golongan masyarakat ekonomi lemah selama ini yang belum didaftarkan oleh karena alasan ketiadaan biaya, juga dinilai memiliki dampak ekonomis bagi masyarakat tidak mampu untuk membantu permodalan usaha dalam konteks hak tanggungan. Dengan demikian, melalui program setipikat gratis ini diharapkan masyarakat tidak mampu dapat mandiri dan berdikari dengan tujuan adanya peningkatan taraf ekonomi keluarganya untuk masa yang akan datang.

Namun sayangnya, dalam PP 128/2015 tidak ditemukan batasan dan kriteria yang jelas terhadap golongan masyarakat tidak mampu dimaksud, sehingga dikhawatirkan PP tersebut akan menimbulkan legal gap untuk kemudian dapat disalah tafsirkan. Sebab jika tidak aturan yang jelas dan tegas terkait siapa-siapa yang termasuk golongan ekonomi lemah, maka bukan tidak mungkin efek dari pemberlakuan PP ini malah akan mendongkrak angka kemiskinan di Indonesia bahkan melampaui data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik terkait tingkat kemiskinan di Indonesia.

Soyogianya penerapan Pasal 22 PP 128/2015 tersebut didampingi dengan petunjuk teknis lebih lanjut dari Kemen-ATR/BPN yang meng-konkritkan berbagai hal terkait batasan, syarat dan kriteria terhadap siapa saja yang dimaksud dengan golongan masyarakat ekonomi tidak mampu, sehingga pemberian intensif yang diperintahkan oleh PP 128/2015 dapat lebih tepat sasaran. Pun demikian, dalam pelaksanaanya juga harus dibarengi dengan pengawasan melekat (WASKAT) pada level internal instutsi BPN terkait dengan penerapan pasal dimaksud, agar menutup celah terjadinya penyalahgunaaan wewenang yang mengatas-namakan masyarakat ekonomi lemah.

Terakhir sebagai kata penutup yang perlu diingat adalah bahwa tujuan diberikanya intensif bagi masyarakat tidak mampu untuk mengurus sertpikat hak atas tanahnya secara gratis sebagaimana diatur dalam PP 128/2015  dianggap telah sesuai dengan amanah Undang-Undang Pokok Agraria yang menghendaki terlaksananya percepatan pendaftaran tanah di Indonesia guna tercapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya mari hantarkan PP ini kepada tujuan yang dikendaki. Semoga saja, Aamiin!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar