Selasa, 16 Agustus 2016

PENGUASAAN TANAH SELAMA 20 TAHUN DILINDUNGI NEGARA

Penguasaan fisik atas tanah dan bangunan menjadi poin penting di dalam hukum pertanahan. Para pemegang hak atas tanah meskipun telah bersertifikat tidak boleh hanya mengandalkan sertifikatnya tanpa melakukan penguasaan fisik, atau membiarkan tanah tanpa sedikitpun melakukan kegiatan. Tanah yang kosong tentunya mengundang orang lain untuk menempati dan menduduki tanah tersebut meskipun tanpa didasari suatu bukti.

Problematika hukum pertanahan yang banyak terjadi salah satunya disebabkan oleh pemegang hak yang membiarkan tanahnya kosong, sedangkan orang yang menempati atau mendudukinya selama bertahun-tahun merasa memiliki hak. Jika pemegang hak asli akan kembali memanfaatkan tanahnya menghadapi hambatan yang serius dan tidak jarang kehilangan haknya. Memang kenyatannya Hukum pertanahan mewajibkan bagi pemegang hak untuk mengelola tanahnya sesuai dengan hak yang telah diperolehnya, konsekwensi bagi yang tidak mematuhi perintah hukum tersebut akan kehilangan haknya.

Bagi pihak yang dengan i'tikad baik dan secara jujur menguasai fisik tanah selama 20 (dua puluh) tahun berturut-turut, hukum akan melindunginya dan melegitimasinya sebagai pemilik hak atas tanah yang dikuasainya. Hal ini merujuk kepada ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menegaskan:
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat:
a.    penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b.    penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. 

Penjelasan Pasal 24 Ayat (2) tersebut:
Ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud ayat (1) baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahulunya. Pembukuan hak menurut ayat ini harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1)   bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut turut;
2)   bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;
3)   bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya;
4)   bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 26;
5)   bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;
6)   bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. 

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut bukan hanya memberikan solusi bagi para pemilik tanah yang tidak memiliki bukti, tetapi secara eksplisit mewajibkan kepada para pemegang hak atas tanah untuk secara nyata dan pasti melakukan penguasaan, pengelolaan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan hak yang diberikan oleh Negara.

Dalam praktek hukum, ternyata penguasaan fisik yang demikian itu diakui dilindungi oleh Negara yang direfrentasikan melalui beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, berikut ini:
  • Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 295 K/Sip/1973 Tanggal 9 Desember 1975 yang menguraikan; “…..mereka telah membiarkannya berlalu sampai tidak kurang dari 20 (dua puluh) tahun semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingga mereka dapat dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada atas sawah sengketa, sedangkan Tergugat Pembanding dapat dianggap telah memperoleh hak milik atas sawah sengketa
  • Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 329 K/Sip/1957 Tanggal 24 September 1958 menegaskan; “orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 (delapan belas) tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan hak atas tanah tersebut (rechtsverwerking)”
  • Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 783 K/Sip/1973 Tanggal 29 Januari 1976 menegaskan; “seandainya memang Penggugat Terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa Tergugat-tergugat sampai sekian lama (27 tahun) menunggu untuk menuntut pengembalian atas tanah tersebut menimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking)” “pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung Penggugat Terbanding yang telah menduduki tanah tersebut tuntuk waktu yang lama, tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur (rechtshebende te goeder trouw) harus dilindungi oleh hukum”      

Bahwa orang-orang yang tidak menguasai tanahnya selama kurun waktu tersebut di atas, hukum menganggap orang tersebut telah melepaskan atau meninggalkan haknya. Dan secara otomatis orang yang menguasai atau menduduki tanahnya sesuai dengan kwalifikasi tersebut di atas akan dilegitimasi dan melegalisasi sebagai pemilik tanah tersebut dan harus dilindungi oleh hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar